(tinggalkan) kencang




Jangan terlalu kencang
Semakin kencang, semakin berjarak
Jarak yang kau tinggal diisi kabut tebal

Kau semakin jauh didepan
Aku masih menghalau kabut yang mulai menyesatkan

Engkau menghilang
Aku kehilangan
Jangan terlalu kencang
Agar sempat bergandengan

Penghapus

melihat penghapus putih yang mulai kehitaman diatas meja belajar. Rani mulai cemberut karena tidak dibelikan penghapus yang baru oleh ibunya. wajar jika rani menginginkan penghapus baru karena Rani hobi banget menggambar. salah gambar, hapus. begitulah yang dilakukan anak seusia Rani. sampai sampai setiap hari akan banyak penghapus yang bergeletakan tak terpakai akibat sudah berwarna hitam, tak terpakai lalu dibuang."penghapus itu dulunya bersih dan suci, tiba-tiba tercoreng oleh bercak warna apa saja. lalu dibuang"

Otong melihat tingkah anaknya yang sangat suka menggambar dan penghapus-penghapus yang sudah tidak digunakan.

penghapus itu ibarat kehidupan. mula-mula bayi, anak-anak, dewasa, kerja, menikah, punya anak, tua dan mati. bayi yang polos dalam perkembangan menjadi tua akan dipenuhi oleh bercak-bercak warna apa saja, bukan cuma hitam. Otong mengambil penghapus yang terjatuh dilantai dan melihat disekelilingnya terasa cepat berjalan mundur.

Otong kecil lahir dikeluarga yang biasa saja. ayahnya bekerja sebagai pedagang dan ibunya menjadi Ibu rumah tangga idaman. tak ada hal-hal yang membekas bagi Otong saat masih kanak-kanak, sesekali Otong membantu ayahnya mengangkat gerobak ke pasar sisanya Otong menemani ibunya dirumah, membantu dan bermain dengan teman sebayanya. tiba-tiba disekitar Otong berubah dengan cepat, rumah-rumah bambu, berubah jadi berdasar batu bata, pohon-pohon besar hilang terganti  tiang-tiang listrik berakar diatas, kebel. ayahnya yang dulu jualan dipasar kini terkubur berpatokan  menemani ibu Otong yang lebih dahulu mempunyai patok dengan ukiran nama. kini Otong tak usah khawatir pada ibu. ayahnya kini mulai menemani ibunya. Otong tersenyum.

setalah ditinggal kedua orang tuanya, Otong merantau ke Ibu kota, berkenalan dengan Ranti di sebuah tempat pekerjaan. dedikasi serta loyalitas yang tinggi membuat Otong dan Ranti membuat pangkat mereka naik dengan cepat. pangkat yang tinggi membuat mereka memutuskan untuk menikah. pangkat yang tinggi membuat semua yang tidak setuju menjadi setuju, yang gak mungkin menjadi mungkin. pangkat. hey hey pangkat.

penghapus itu putih, lalu menghitam, berdaki.

setelah mempunyai anak Otong dan Ranti jarang terlihat dirumah. pagi pergi, malam kembali. pagi sarapan, malam kelelahan. sarapan pagi dilaksanakan dengan meja makan ditengah, susu dan roti ditangan "jangan lupa belikan Rani penghapus, penghapus yang kemarin sudah tak bisa digunakan" begitu kata Ranti kepada Otong sembari pergi ditelan mobil pribadi. tak berselang lama Otong juga pergi meninggalkan Rani yang masih sibuk dengan hobi.

Rani menggambar ayah dan ibunya  bergandengan tangan melihat dunia yang bersih tanpa ada caci maki atau saling membodohi. Rani menggambar ayah dan ibunya saling merangkul pada malam gelap dengan bintang besar dan meteor yang melintas tanpa bunyi.

"istriku selalu menyuruhku untuk membeli penghapus untuk Rani. kenapa nggak dia saja yang membelinya" kata si Otong yang masih berpelukan dalam selimut yang tanpa busana " ya gpp mas, gara-gara kamu disuruh membeli penghapus kan kamu bisa mampir". kata si perempuan sambil kembali melakukan kecupan penutupan. mereka lalu mandi untuk menghapus aroma, bau, keringat atau hal-hal lain yang terhapus akan sigap mereka hapus.

lalu Rani menghapus gambar-gambar tentang ayah dan ibunya. begitulah seterusnya setelah digambar, dihapus. orang tuanya yang digambar bergandengan tangan, sudah terhapus sebagian dengan tangan yang menghilang dan sebagian badan yang hilang. gambar kedua orang tuanya yang merangkul pada malam hari hilang kepala dan hati tertimpa meteor yang jatuh tajam.

keesokan harinya. gambar kedua orang tua rani terhapus bersih. kedua orang tua rani juga hilang, pergi tak pernah kembali. kini, Rani sering menggambar dirinya yang sendiri, menunggu.

"semua akan terhapuskan"







Menyeramkan

Otong ingin mengunjungi kota.

otong pemuda polos dari desa terpencil dibawah kaki gunung. udara dingin berhembus dari atas gunung menuju lembah-lembah, jalan-jalan, dan kaki-kaki para penduduk yang mulai pergi kekebun. matahari setiap saat menyinari desa, matahari selalu dekat dengan para warga, semakin lama semakin mendekat panasnya. seperti dekatnya Otong dengan lingkungan yang akan ditinggalkannya.

hari ini waktunya Otong untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. berbarengan dengan kepergian matahari yang mulai menghitam, Otong pergi bersama kegelapannya. Otong berpamitan dengan warga desa yang apa adanya, jujur, ramah senyum. Otong berangkat dengan membalikkan badan membelakangi desanya, mata otong berkaca-kaca melihat kaki-kakinya yang mulai melangkah menjauihi desa.

kata salah satu warga desa "orang-orang kota semuanya mempunyai peri untuk dijadikn istri, teman, sahabat, ataupun pembantu bahkan sesama peri ada juga yang saling bermusuhan"
apa yang warga desa bilang semakin membuat Otong penasaran. "bagaimana bentuk peri, apa mereka mempunyai sayap, apakah bisa memberikan sesuatu berupa keajaiban" pertanyaan pertanyaan itu muncul dikepala Otong sambil senyum senyum melangkah menjauhi desa.

sudah 24 jam Otong menyusuri jalanan melewati jalan terjal berbelok belok dengan suasana hutan yang membawa aroma kemistikan. pohon-pohon bergerak, berbunyi, mendekat akibat serpahan angin yang mulai kencang. tanah-tanah yang diberi jebakan berupa lubang ataupun batu yang membuat tidak nyaman saat berjalan. suara dedaunan yang ditampar angin berbisik ke arah Otong "kamu segera sampai". di ujungf arah mata angin distulah kota tergeletak. Otong pun sudah dekat.

sesampai di kota Otong berkenalan dengan peri. untuk berkenalan Otong harus memberikan sejumlah uang kepada tuan peri sebelum dia, Otong juga harus memberikan pajak kepada peri, serta makanan agar peri bisa di ajak berkomunikasi dan berkomporomi. peri yang ditemui ini tidak persis seperti yang digambarkan pikiran Otong. tidak ada sayap, bentuknya hanya seperti papan kayu, tidak mungkin juga bahwa yang dinamakan peri ini bisa mengabulkan permintaan.

semakin hari Otong semakin memahami si peri, seperti memahami isi hati Otong yang selalu dihimpit pensaran pada hal yang baru. seperti penasarannya si Otong pada warga kota.
Otong dan peri itu semakin akrab. bisa dibilang seperti suami istri.

setiap hari Otong selalu bermainan dengan si peri. menerangi mata, jari-jari Otong semakin hari semakin lincah menggelitiki si peri. bila malam tiba si peri selalu tidur di pelukan Otong. pada waktu mandi datang, Otong juga selalu membawa peri sembari melakukan aktivitas menggosok badan dengan serabut kelapa yang dibawa dari desa. 

suatu saat otong merasakan kebosonan. Otong ingin mempunyai  teman manusia. selama ini Otong hanya berteman dengan perinya. wajar kalau si Otong merasa bosan. 

Otong meminta peri untuk mencarikan teman "peri aku ingin mempunyai teman wanita" . tanpa banyak pikir panjang  peri melihatkan sebuah foto wanita cantik, baiik, ramah , dan perkataan yang baik. "ok peri. aku setuju. ayok kita segera bertemu"  ajak otong bersemangat.
"Otong kau harus mengajaknya terlebih dahulu, carilah tempat untuk mengajak ketemuan" kata si peri.
wanita itu mengiyakan ajakan Otong dengan tempat yang dipilih oleh wanita.
Otong menyiapkan tempat dimana mereka akan bertemu, memboking tempat. merapikan rambut dengan jilatan air ludah. memakai parfum dengan menaburi perasan bunga pada tubuhnya. memakai baju sederhana seadanya. Otong siap untuk bertemu wanita, untuk menjadi teman, ya teman di negri orang.

mereka bertemu ditempat yang dijanjikan dengan makanan dan minuman yang sudah ada didepan meja. Otong menunggu dengan harapan yang tinggi seperti balon udara yang meninggi di angkasa.

gelas terpecah, Otong merasa terpecah belah, hancur lebur terserak dilantai. perempuan itu menghinanya akibat penampilan yang mungkin ndeso.
" aku pulang duluan, tampangmu berantakan." kata si perempuan.
Otong terdiam mendengar suara perempuan itu yang mulai pergi sambil mengoceh-ngoceh sendiri. seperti balon udara yang terpecah disamping telinganya, kejadian itu membuatnya kaget setengah mati. Otong termenung sembari menata diri merapikan diri yang berserakan di lantai dan sebagian yang melayang akibat letusan balon udara.
Otong tak habis pikir. dia ingin berteman selamanya bukan cuma 1 malam kenapa penampilan menjadi dasar untuk menyimpulkan?

peri berusaha menghibur dengan bercahaya terang membisiki Otong untuk terus mencari.
"yang lalu biarlah pergi. tak usah diingat, ingatan itu sakit menyayat" bisik si peri.
berhari-hari Otong tak bisa memahami apa yang telah terjadi. waktu yang terus berputar tidak membuat pikiran Otong meninggalkan hal yang terjadi dengan wanit itu.
Otong memainkan si peri lagi sampai dia bertemu pada suatu sosok.
sekian hari terperangkap memikirkan wanita mencari Otong telah menemukan manusia yang mau dijadikan penutan, buka tentang perempuan lagi. Otong menemukan laki-laki yang menurutnya bisa memperbaiki hati dan dirinya yang semalam terpecah belah. laki-laki itu berpakaian rapi, bersih, sorban dikepala, kitrab suci ditangan.
alangkah beruntungnya si Otong laki-laki itu mengadakan acara. Otong tidak perlu mengajak bertemu tinggal mendatangi tempat acara tesebut yang bisa diikiti oleh masyarakat umum.

Otong melihat laki-laki itu. mata Otong memerah dan berkaca kaca, alangkah tidak percaya lelaki itu berbicara tidak rapi, mengajak saling benci, mengajak permusuhan. sorban dikepala digunakan untuk berperang, kitab suci hanya untuk pajangan. tidak ada keramahan, tidak ada kata perdamaian. Otong pun pingsan, tidak sadarkan.
kata-kata lelaki itu seperti sebuah benda keras yang menghantam dikepala Otong, menjatuhkan Otong kebawah, tergeletak dengan mata memandang ke atas seakan langit runtuh, puing-puing berserakan jatuh menuju tempatnya lalu tenggelam

angin angin datang membangunkan pelan, Otong tersadar dengan semua hal yang terjadi diperkotaan. uang untuk biaya ke kampung halaman sudah ludes tak ditangan. si peri yang punya harga dijual seadanya untuk pulang dan bekal. perempuan yang ditemui lewat perantara peri tidak tertera seperti di gambar.  kata-kata yang baik, murah senyum, baik hati tidak ditemui saat berhadapan kepala dan kaki. laki-laki yang berpakaian rapi, bersih, sorban dikepala dan kitab suci dtangan sama saja tanpa ada kurang dan lebih.

orang-orang itu menyeramkan

suatu pagi di saat penduduk kota sibuk dengan hura-hura dan pesta. Otong kembali ke kampung halaman bersamaan dengan pagi dan menghilang diantara kabut dengan muka berseri seri.


Praja Yogyakarta
220419

rizki wahyu eko utomo

pencerita

dia terserat oleh sesuatu yang gelap, seperti lubang, menelannya ke tempat yang tak pernah dikunjunginya. tubuhnya terhempas ke tanah, membuatnya sadar "dimanakah tubuh ini telah dilemparkan". di kota ini akan diceritakan tentang sebuah hal.

suasana kota kini menjadi lebih diam, tenang, sesekali sepi seperti tak berpenghuni. dia berjalan melewati kota itu sendirian, heran. kota yang kecil dan bersejarah tapi orang-orang hilang entah kemana. ada beberapa orang yang masih terlihat di kota tapi mereka hanya diam jarang ada omongan, bisa dibilang tidak pernah ada omongan. sesekali orang-orang itu melihat dengan pandangan tajam kepada orang yang baru datang ke kota ini.

pemuda itu terheran-heran seperti ada misteri disembunyikan ditancapkan dalam-dalam ke dasar bumi agar tidak naik ke permukaan. dia masih berjalan memperhatikan bangunan-bangunan tua bekas penjajahan, jalanan yang lunglang, pohon-pohon yang besar, angin yang tidak melalu lalang.
Di gang gelap tak bercahaya,  dinding dinding tinggi menjulang, cahaya matahari yang tak sampai akibat terhalang gedung-gedung tinggi,  pemuda itu bertemu kakek tua yang sudah tidak mempunyai tenaga, menunggu malaikat maut untu menemuinya. "kesinilah kau nak" kata kakek itu mendesih lirih, pemuda itu mendekati dengan hati-hati, berjalan dengan langkah langkah seperti seorang agen negara itali. "tak usah takut, aku tau kau bukan penduduk sini" kata kakek itu meyakinkan. pemuda itu terheran, setelah merasa yakin pemuda itu lalu duduk didepan kakek tua dengan memegang kedua lutut yang dinaikkan sampai ke dagunya.

Kakek itu bercerita dengan tenaga yang tersisa.

kota ini dulu sangat damai sampai-sampai tidak ada suara-suara apalagi isak tangis. mereka jarang sekali mendengar sebab tidak pernah terjadi percakapan. mereka berbicara melalui tatapan.
tak ada suara tak ada percakapan tapi kota ini damai, tak pernah ada penipuan, perampokan, kekerasan ataupun hal-hal yang menyakitkan. motor mobil lalu lalang juga tidak bersuara, suara mesin-mesin  itu seperti suara hembusan angin.
anak-anak kecil bermain bola dilapangan juga tidak ada percakapan, tertawa, marah-marah hanya terdengar suara bola yang ditendang ataupun kaca pecah akibat bola. anak-anak akan bermain sampai petang dengan matahari yang mulai terlihat setengah. suara burung yang pulang pertanda permainan harus diselesaikan.

sampai suatu ketika kota ini kedatangan pencerita. ya, kota ini dulunya tidak pernah ada pencerita sampai datang seorang pencerita gila, tapi dilayani seperti raja. kota ini selalu didatangi banyak pencerita untuk bercerita kepada penduduk kota. penduduk kota sangat senang jika ada orang yang datang untuk bercerita, mereka akan dengan seksama mendengarkan apa saja yang orang luar kata. penduduk kota selalu menyimpan semua kenangan kegembiraan dengan membuat pesta, pasar bazar, atraksi untuk menyambut pencerita untuk bercerita. kota ini selalu menerima orang-orang luar dengen berlapang dada, dilayani sebagai raja, di sediakan makanan yang paling lezat, minuman yang paling nikmat.

sampai datang Otong si pencerita idaman masyarakat kota, terkenal. dia bercerita dengan sangat baik, halus, sopan dan menjadi buah bibir masyarakat kota. setiap Otong bercerita, mata para penduduk berbinar-binar, menyimak dan yakin apa yang Otong bicarakan. mereka selalu ya ya ya setelah setiap kalimat yang keluar dari bibir si Otong. bagi mereka Otong adalah pencerita ajaib yang datang disaat telinga mereka tidak pernah ada yang membisiki cerita. Bahkan para penduduk tidak pernah membantah apa yang Otong bicarakan.

"aku akan memajukan kota kalian lebih dari ini, membangun jalan-jalan, menambal jalan, membuat taman, menggratiskan pengobatan, bla bla bla bla" kakek menirukan sedikit omongan dari pencerita.

Otong selalu bercerita tentang kesejahteraan, kebahagiaan, keadilan dibaluti dengan suara lembut orang yang merayu-rayu. merdu seperti kicauan burung mahal yang sekali ngoceh selalu dinantikan pendengar.

suatu saat datanglah pemilihan pemimpin daerah. karna cuma Otong yang pandai bercerita akhirnya Otong terpilih menjadi pemimpin di kota. para penduduk yang lain cuma menjadi tangga untuk pencerita agar menjadi penguasa. 
"Aku yakin jika Otong menjadi pemimpin kota, dia pasti akan senang bercerita dan kau yakin cerita yang disampaikannya akan jadi kenyataan"

adanya pencerita membuat penduduk mulai melakukan komunikasi, ngobrol sana sini, tertawa kesana kemari.

kota mulai ramai kembali. orang-orang sibuk bercerita, kota-kota yang dulu diam. kini suara terdengar dimana-mana, obrolan kanan kiri memenuhi sudut kota tua. ada teriakan disudut kota, ada tangisan di kursi taman, ada penculikan di rumah ujung jalan. kini semua mendadak ramai.
anak-anak bermain dengan menendang kaki, membully dengan senang hati, malam hari pergi ke tongkrongan melihat layar kecil yang menyala. diam, tiba2 marah dan sesekali membanting layar kecil lalu pergi pulang. besoknya ngadu ke orang tua kalau layar kecilnya hilang dirampas petugas sekolah.

hari ini otong tidak bercerita, Otong sibuk bekerja dikantor, ber ac, dengan kemeja berdasi jam tangan mewah, celana sutra dan sepatu berkilat yang selalu tertempel pada tubuh . masyarakat yang menanti dilapangan berteduh awan yang selalu lalang tampak semakin menghitam. masyarakat yang tadi mulai ngobrol sana sini lambat laun mulai sunyi, mata mereka tertuju pada tempat yang disediakan untuk kepala daerah mereka,Otong. anak-anak kecil yang bermain bola dilapangan mulai ikut-ikutan memandang didepan ingin rasanya mereka menendang bola itu ke mulut Otong yang sudah berjanji omongan dan datang tapi tak pernah kelihatan. masyarakat dan anak-anak kecil lelah menunggu, pencerita yang ingin mereka dengar tak kunjung datang hingga matahari tenggelam dengan menyisakan warna jingga yang sebentar lagi akan termakan kegelapan. mereka pergi tertunduk kecewa!

Hari-hari berlalu, Otong si kepala daerah sudah menjabat beberapa lama. Cerita-cerita yang dibawa dan menjadi senjata untuk masyarakat tak pernah dilanjutkan, cerita dari Otong menggantung di pucuk awan tak pernah sampai tujuan.

kini Otong tampak sangat sibuk, dia jarang sekali bisa melayani warga kota untuk sekedar bercerita seperti dulu kala, kini dia lebih banyak dikantor dengan ketas-kertas bermata uang yang harus ditanda tangani oleh penguasa. Otong si pencerita kini jarang sekali terlihat di kota, katanya dia sibuk untuk mengurusi ini itu di kota lainnya. si pencerita jarang sekali berkomunikasi, dia hilang seperti jaringan komunikasi di plosok negeri.
kakek itu berpesan pada pemuda tersesat itu "hati-hati sama pencerita, mereka bisa membutakan yang didada"

pemuda itu pergi dari lorong gang hitam sempit yang didiami kakek tua. dia berjalan dengan menyusuri toko-toko yang tutup. tenggorokan pemuda itu kering, minum air ludah pun tak bisa menghilangkan dahaga bahaya. untuk meminta minum pun tak bisa, sebab orang-orang tak ada yang ditemui. Otong berjalan sampai di tengah kota, tapi alangkah terkejutnya Otong melihat penduduk berkumpul dengan membawa bensin. mereka membakar rumah Otong dengan bensin yang mereka bawa.
dari atas rumah bertingkat terdengar "tolong,tolong, tolong" 
penduduk menikmati kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Otong seperti mendengarkan Otong bercerita seperti sebelumnya "akhirnya Otong bercerita lagi, ceritanya bagus ada sedih-sedihnya. ini cerita terakhirnya mari kita nikmati dengan seksama"
kata salah seorang penduduk kota yang menyaksikan dengan mata berbinar air mata.



Nyamuk

malam itu seluruh badan Otong terlihat bintik-bintik merah yang menempel dari mulai kepala, wajah, badan, tangan, paha, kaki semua tubuhnya tanpa terkecuali. seperti pori-pori di kulit, bekas merah itu tak bisa dihilangkan seperti kena kutukan penyihir malam yang menyebarkan nyamuk untuk melayang. tidak hanya melayang tapi menyerang

sebelum kejadian itu, tepatnya beberapa tahun yang lalu:

pagi yang cerah terdengar suara pukulan orang-orang menjatuhi pukulan tepat dikepala, wajah, mulut, dada. kaki yang melayang sampai ke wajah, kaki, perut seperti bek menendang bola sekuat tenaga tanpa rasa bersalah. Otong berdarah darah. muka, hidung, bibir, mata bengkak, menonjol merah kehitaman di atas pelipis mata, seperti tidak berbentuk wajah. Otong melihat ke atas matanya memandang tajam pada elang yang terbang sendirian bagai raja yang bebas berpetualang. Otong ingin menjadi yang terkuat, ditakuti, bebas seperti elang yang tertangkap dimatanya.

untuk menjadi orang yang terkuat otong pergi mencari padepokan bela diri dinegri timur bumi. pada saat matahari mulai mngeluarkan sinar Otong berangkat menuju matahari yang terbit itu. jika malam datang Otong berhenti melakukan perjalanan dan menghitung bintang dengan jari-jari yang mulai menghitam akibat terpaan gelap tanpa penerangan. begitu Otong setiap harinya selama tiga hari tiga malam sampailah Otong di padepokan bela diri di timur negri.
menguatkan otot otot tangan dan kaki, melatih strategi, meringankan badan agar gesit dan lincah. otong menguasai jurus-jurus dengan mudah, ketekunan dan tekad untuk menjadi elang yang tak tertandingi di angkasa membara dalam tubuhnya.
 sampai suatu hari di padepokan bela diri tidak ada yang kuat melawan otong, orang di persilatan mengakui Otong sebagai orang yang terkuat." siapa lagi ini yang melawan, semakin hari kalian semakin lemah" teriak Otong menyepelekan. guru padepokan melarang Otong bersikap sombong "janganlah dulu bersikap sombong nak, di atas langit masih ada....." belum selesai guru bicara, Otong melemparkan tendangan ke arah Gurunya. Brukkkkkkkkk!!!

seperti paruh elang yang menyambar mangsanya.

Otong pergi tanpa pamitan padepokan, dia semakin kesal teringat masa lalu yang dulu dihajar. segara mungkin Otong melakukan perjalanan pulang. kali ini Otong melakukan perjalanan ke barat, saat matahari mulai gemircik mengeluarkan hangatnya Otong tidur dibawah pepohonan. jika malam datang dan hewan-hewan buas menantang, Otong melakukan perjalanan dengan menantang. bintang-bintang yang dulunya dihitung untuk menamani kini disepelekan.
di perjalanan Otong didatangi kabut hitam berputar seperti topan mendekati lalu berubah menjadi sesosok orang berpakaian hitam memegang benda tajam.Otong tak berani melawan,  Otong gemetar, aura yang dipancarkan lelaki itu membuat ciut nyalinya. "melakukan perlawann berarti sama saja dengan bunuh diri, orang-orang yang menghajarnya di desa akan tetap hidup dibumi" begitu hati membisik tubuh Otong. tanpa perlawanan Otong terduduk dengan muka tertunduk ditanah.
"jika ada saran tuan agar kekuatan bertambah, saya mohon kasih tau hamba" kata si Otong dengan terbatah-batah meminta saran.
"hahaha, manusia memang budak kekuatan. jika kau ingin kekuatan pergilah bertapa ke Gunung raksapura" katanya sambil tertawa lalu hilang di tengah rindang pohon besar dengan kabut hitam yang menerbangkan dedaunan.

setelah selesai bertapa Otong semakin menjadi-jadi kekuatanya. akhirnya Otong kembali kedesa yang telahg lama ditinggalinya.
Otong menjadi yang terkuat di desa. dengan cepatnya dia menjadi orang yang ditakuti akan kekuatannya. akibat kekuatanya Otong menjadi pemarah. gampang marah-marah semua dianggap salah. ada orang salah dikit sikat, hajar, bunuh itu sudah biasa. Orang-orang yang pernah menghajarnya dulu hilang seperti tertiup angin tanpa jejak. orang orang yang suka mengejek Otong kini jadi bawahan yang memijiti punggung dan membersihkan kuku-kuku kaki.

warga kampung yang sakti dan terkuat tidak ada yang berani kepada Otong. cerita cerita akan kekuatan Otong mulai tersebar. "Otong dulu pernah bertapa di gunung raksapura. saat sedang bertapa hewan-hewan buas menjaganya mulai dari macan, singa, buaya, tikus bahkan semut tidak ada yang berani mengganggu ritualnya. akar-akar pohon membuat singgsana bagi Otong, daun-daun menjadi payung dari sengatan matahari dan hujan" kata warga sekitar
semakin warga kampung sering menceritakan kekuatan Otong, semakin banyak pula kesombongan yang ada pada diri Otong.

suatu malam Otong memarahi anak buahnya yang sakit karena gigitan nyamuk. dengan sombong Otong berucap "sama nayamuk kecil aja sampai sakit dan ngabisin biaya buat perobatan, dasar lemah" sambil berucap dimuka anak buahnya yang lemah tak berdaya. "jangan sampai kalian-kalian ini juga sakit apalagi sakitnya gara-gara nyamuk kecil" kata Otong sambil menunjuk muka-muka
anak buahnya.

suatu malam yang tak berbintang, ditutupi dengan awan hitam dengan suara burung hantu di pepohonan, sesekali terdengar suara anjing hutan yang melolong panjang di atas pebukitan seperti melihat seseorang. Otong berjalan sendirian sesudah meminum tuak bergalon-galon dan berjam-jam. Otong jalan sempoyongan kiri kanan kiri kanan sampai diteras rumahnya yang bergelantungan obor yang menyala sayup-sayup akan padam. sesampai dirumah Otong langsung tidur tanpa banyak alasan. terpejam, nyenyak sampai dialam mimpi gentayangan.

dalam mimpi itu Otong dikejar oleh nyamuk raksasa yang ingin membunuhnya. sebelumm lari, Otong berusaha melawan, berduel satu lawan satu dengan nyamuk tersebut. kalah. kekalahan itu membuat Otong harus lari agar nyawanya terselamatkan tapi nyamuk raksasa itu masih mengejar. berlari ke pebukitan masih tetap dikejar, berenang di lautan tetap diikuti sampai tepian, berlari ke gurun tetap diserbu sampai menuju mata air. Otong berhasil selamat ketika dia keluar dari mimpinya serta merasa ada bintik kecil merah ditanganya.

tak berselang lama Otong diikuti oleh satu nyamuk yang selalu menginginkan darahnya. setelah naymuk itu dibunuh ada nyamuk lain lagi yang selalu mengikuti Otong. "tolong-tolong, ada nyamuk gila yang mengganggu saya"  tariak-teriak si Otong keluar rumah hingga keramaian desa. para warga melihat Otong hanya terheran-heran "ini yang gila nyamuk apa si Otong, jelas-jelas nggak ada nyamuk yang mengikutinya" kata warga berbisik, sambil mendekati dan melihat dari dekat si Otong, memang benar , nyamuk tidak ada yang mengikuti Otong, tapi Otong merasa diikuti oleh nyamuk yang setiap detik semakin banyak seperti sebuah gerombolan lebah yang mengejar. "matane do picek kabeh" otong terus berlari, anak buahnya tidak ada yang berani mendekati takut dimarahi malah iso-iso mati.

hari menjelang malam Otong masih berlari, dia berlari menuju pebukitan berharap tengah malam membuat buta para nyamuk yang menyerang. tapi nyamuk semakin malam semakin berkembang, semakin banyak, semakin mengganaskan. Otong tetap tidak bisa membuat nyamuk itu pergi walau sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan. semakin malam, semakin gelap bintang dan bulan hanya menonton kasihan. perlawanan otong sampai pada ujung malam. Otong pun tenggelam dalam temaram.

keesokan harinya para warga menemukan tubuh Otong penuh dengan gigitan nyamuk diseluruh tubuhnya. "padahal dari kemarin dirumah nggak ada sama sekali nyamuk ya"
"iya, lihat aku aja tumben nggak ada bekas nyamuk di tangan. biasanya ada walaupun cuma satu" para warga saling berbisik terheran heran.


"otong mati, berbintik merah darah"

Dirimu

1 hari 24 jam
Pada tiap hilangnya
Detik pada dirimu
Yang butuh teman untuk ucapkan rindu

Malam berlanjut
Menggendong angin  
pada dirimu
Yang butuh seseorang untuk merasakan hembusan.

Kamu lelah
Angin berubah dingin
Merasuki kulitmu
Yang menempel lembut
untuk tiap porimu.

Kamu bangun
Dengan aroma tubuh
Yang butuh terhangatkan Matahari 
Dari dinginnya kenyataan

Dia meluangkan waktu, untuk sesuatu yang biasa orang sebut dengan kebersamaan. Dengan waktu berputar itu itu, dia tak pernah lelah untuk melakukan sesuatu. Waktu tidak pernah membuatnya merasa bosan. Ditandai dengan kemunculan ditimur dan tenggelam dibarat atau dimulai dengan cahaya ditutupi dengan kalelawar yang menggelapkan mata. Dia mencari seseorang kalo bisa teman dan lebih beruntungnya lagi sahabat untuk bisa menghabisi waktu melihat kalelawar yang berterbangan di langit atas.

Waktu bisa membuatnya lelah. pada malam hari dia bisa merebahkannya pada kasur-kasur yang selalu setia untuk ditunggangi keluh kesahnya, dia berucap "terima kasih". Angin-angin yang selalu menghilangkan kelelahan pada tubuhnya, dia berbisik 
"cukup segini"

Tapi angin semakin malam semakin dingin. Hembusan membuatmu tak nyaman, ujung2 kaki bergeliat nyata tak terselimuti. Kaki butuh kehangatan tapi mata tetap gelap terpajam bersama waktu yang menuju terang.

Dia bangun. Bersama munculnya matahari Lelahnya tersegarkan. Jalan-jalan hitam terterangkan, langit-langit hitam terpudarkan, burung-burung malam kembali ke sarang, sawah dan rerumputan hijau kembali bersenang.

Waktu tetap berputar pada semestinya, dia tetap dengan rutinitas tiap harinya.
1 hari, 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun bahkan 50 tahun begitulah seterusnya sampai dia lelah untuk selamanya mengikuti waktu dunia.


Gani dan Nana



Dedaunan rumput liar melambai, "aku akan pergi tolong jangan ada tangisan apa lagi kebahagiaan” pesan rumput liar kepada tanah saat akan dicabut dengan dan oleh tangan pencabut kehidupan.

Malam hari, setelah tiga hari kematian. Pak sastro dan mas Wahyu mendiskusikan kelanjutan sekolah Gani dan Nana.
“pak gimana kelanjutan sekolah Gani dan Nana” tanya mas Wahyu yang masih memiliki rasa peduli.
“ya, saya pengennya mereka bisa lanjut mas, tapi apa daya kami mas. Gawe ngisi  beras ae angel” kata pak Sastro dengan nada jawa.
“pak saya dari kemarin punya ide untuk memasukkan Gani dan Nana di panti asuhan JayaRaya yang berada diluar kota. Disana terdapat sekolah sampai Sma. Tapi ini juga tergantung bapak” kata mas Wahyu dengan berharap
“mas tapi dengar2 panti asuhan itu.......” 
“Ah itu Cuma kabar burung pak” kata mas Wahyu memotong omongan bapak Sastro.
Jam sudah menunjukkan jam 12.30 AM. Pak Sastro dan ma Wahyu terlihat sering sekali menaroh tangan pada mulut masing-masing. Menandakan ngantuk sudah menular dan menyerang bagaikan nyamuk yang menyerang. Disaksikan oleh bulan dan bintang, di ketuk palu oleh waktu yang berdentang tengah malam. Akhirnya mas wahyu dan Pak Sastro sepakat untuk memasukkan Gani dan Nana di panti asuhan Jayaraya di pinggiran kota. 

“Gani dan Nana memasuki sekolah dihari pertama dengan seragam seperti langit cerah. Merka pergi berjalan kaki Bersama rizki. Mereka akan mempunyai teman baru guru baru, pelajaran baru. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan induk ayam dan anak-anaknya yang sedang latihan militer berjalan dengan tegap, berbaris  rapat, waspada pada setiap yang mengancam. Gani dengan semangat membara menuju sekolah tidak sadar bahwa kakinya hampir menginjak anak ayam,. Seketika kapten yang menginduki anak ayam mengejar Gani berlari menjerit”
hufffft( dengan suara nafas yang dihisap dalam-dalam). Gani terbangun dari mimpinya, dia termenung dan beberapa saat membangunkan Nana yang memeluk kaki Gani yang keras seperti guling yang nyaman.
“Na bangun, udah pagi” Gani membangunkan Nana dengan membelai rambut dan mencubiti pipi Nana.
Dari luar terdengar suara rizki yang memanggil, sambil membawa daun ubi.
“Gan, Nan”
“kenapa ki, pagi-pagi teriak-teriak kaya ayam” kata Gani sambil ketawa dengan jemari yang mencari tambang emas disekitaran mata.
“kalian disuruh kerumah Pak satro untuk sarapan Bersama” jawab si rizki sambil pergi melambaikan tangan
Gani dan Nana bersiap-siap dan dengan berpakaian sederhana, mereka menuju rumah Pak Sastro dengan berjalan kaki bersama sinar pagi yang membias mereka, mengeluarkan keringa-keringat kecil didahi seperti melihat percikan berlian yang menetes. Gani dan Nana sampai dirumah pask Sastro disana ada mas Wahyu dan tak ketinggalan si Rizki yang melambaikan tangan ke mereka. Gani dan Nana duduk disebelah Mas Wahyu, tepat diseberang mereka ada pak Sastro dan Rizki. Di tengah-tengah mereka sudah tersaji sarapan berupa Nasi, Tahu, tempe dan daun pucuk ubi dengan sambal. Hidangan sederhana yang terasa mewah.
“monggo diambil sendiiri” katak Pak sastro sambil mengambil piring “ambil yang banyak nggak usah malu-malu”
Mereka pun mulai mengambil dengan tertib. Dimulai dari nasi, tempe dan daun ubi. Dinikmatinya setiap suapan dibuka dengan basmallah dan diakhiri dengan alhamdulillah. Selesai makan Gani dan Nana memebereskan dan membawa kedapur untuk dicuci.
Gani dan Nana duduk dengan rapi. Pak Satro membuka percakapan
“Gan, Nan sebagai kerabat bapak ingin kalian itu sakolah dan kalo bisa bersekolah disini. Tapi apa yang bapak inginkan nggak bisa bapak lakukan. Kemarin malam bapak dan mas Wahyu telah menemukan solusi Bagaimana kalian berdua dapat bersekolah kembali. Untuk bisa masuk sekolah lagi kalian akan dimasukkan di panti asuhan JayaRaya, disana terdapat Pendidikan nya juga.”
Si Rizki mendengar hal tersebut sontak terkejut. Gani dan Nana berbahagia disatu sisi mereka harus meninggalkan kampung halaman. Mas Wahyu hanya mengangguk bahwa apa yang dia danpak sastro tawarkan adalah pilihan yang terbaik agar sig ani danNana bisa bersekolah.
Gani dan Nana berbisik sebentar…
“pak Satro saya dan Nana berterima kasih atas kesempatan yang diberikan oelh pak Sastro dan mas Wahyu. Jika memang disitu saya dan Nana bisa bersekolah maka kami akan menerima tawaran yang diberikan”

Ya, kini mereka sudah mendapat harapan yang dulu terbang terlalu tinggi. Apa yang mereka pikirkan setiap detiknya sudah hilang. yang hilang akan digantikan dengan yang baru, begitu juga pikiran Gani dan Nana. kini Gani dan Nana memikirkan hal baru. kenyataan bahwa meraka akan meninggalkan kampung halaman, tidak bisa berdoa dikedua kuburan orang tuanya, berpisah dari teman yang menghiburnya pada setiap saat datang hal menyedihkan membuat pikiran mereka berputar-putar tak sesuai porosnya. beraduk lalu bertabrakan pada otak mereka yang belum bisa dipikirkan oleh anak-anak seumuran mereka.

Nana melihat Rizki, hari kemarin mereka bermain bersama. Nana ingin kembali diajak bermain ditarik tangannya lalu berlari bebas menembus benteng kesedihan.
Gani, Nana dan Rizki sebentar lagi akan dipisahkan oleh waktu, tempat mereka akan berbeda, orang-orang yang ditemui akan berbeda.
Segelap-gelapnya malam hari, esok mentari pagi akan kembali memberi kehangatan dari dinginnya sepi. Ya pasti akan kembali, itulah yang mereka yakini pada masing-masing hati sanubari bocah kecil dengan dunia yang besar dan bermacam-macam kejadian.

Esok disuatu waktu yang tak tau, mereka akan kembali, bertemu pak Sastro, Mas Wahyu dan Rizki serta menaburi bunga dan berdoa di kedua kuburan orang tua, lalu berharap kedua orang tua menunggu kedatangan mereka didepan pintu yang besar, bersama-sama bergandengan tangan ditaburi dengan senyum kepantasan menuju sisiNya.  

(tinggalkan) kencang